
Berbicara Desa Inan, Kecamatan Paringin, Kabupaten Balangan (dulu
Hulu Sungai Utara),pasti akan ingat di sana terdapat sebuah bendungan
mini yang disebut warga setempat sebagai “tabat Basar.”
Mengapa lokasi ini begitu dikenal, bukan saja sebagai objek wisata,
tetapi juga sebagai lokasi irigasi sederhana pedesaan, sekaligus sebagai
berkembang biaknya, ikan sungai dan rawa.
Keunikan lain lagi, dari tabat basar, karena ini hasil karya nenek
moyang warga Desa Inan, yang mampu berkarya menciptakan bendungan kecil
yang berasal dari sungai setempat yang disebut kali maraup.
Sungai kali marapu yang berhulu ke wilayah Kecamatan Awayan ini, tadinya
hanya sungai kecil yang mengalir sebagaimana sungai kecil lainnya.
Tetapi melalui buah karya tetuha masyarakat Inan yang kala itu sekitar
30 tetuha kampung membuat bendungan sederhana yang berhasil menjadi
lokasi irigasi pedesaan yang mampu mengairi ratusan hektare persawahan
setempat.
Bukan saja, ribuan ton padi sudah berhasil diproduksi dari hasil
pengairan sederhana, tetapi sudah ribuan kwintal ikan dihasilkan dari
hasil produksi tabat basar ini dikala tabat ini dikeringkan.
Suasana hiruk pikuk bagaikan pasar, seringkali mewarnai hari demi hari
bahkan berminggu-minggu warga bergerombol mencari ikan di tabat basar
ini di kala tabat ini dibuka dan lokasi bendungan mengering hingga ikan
terkumpul di lokasi itu.
Susana ini terus berlangsung tahun per tahun, bahkan warga setempat
mampu menyediakan makanan “wadi” (ikan yang dipermentasi) hasil dari
tangkapan ikan di Tabat Basar ini, hingga bertahun-tahun pula.
Umpamanya saja, bila mencari ikan tahun ini, lalu ikan diwadi, wadinya
itu mampu bertahan untuk mencukupi kebutuhan keluarga hingga tahun
berikutnya disaat kembali tabat basar dibuka untuk menangkap ikan, kata
Mursidi warga Desa Inan, yang kini menetap di Kota Palangkaraya Kalteng.
Ikan yang dihasilkan dari lokasi ini, beraneka ragam ada ikan baung,
bakut, lais, puyau, sapat, haruan, tauman, sapat siam, papuyu, patung,
junjulung, saluang, sanggiringan, tauman, khung, mihau, kapar,pentet,
walut, lampam, dan banyak lagi jenis ikan hidup di lokasi tersebut.
Menangkap ikan warga setempat biasanya dengan cara bakacal, melonta,
merinji, mehauk, membandung atau mahancau, menangguk, mangaring,
mamancah, maraba, menyarakap, dan banyak lagi cara lainnya.
Saat-saat mencari ikan itu, biasanya warga kosentrasi hanya mencari ikan
dan meningglkan usaha rutin seperti menoreh gatah bahuma dan lainnya,
agar mereka dapat mengumpukan ikan sebanyak-banyaknya baik untuk makan
segar atau diwadi.
Hanya saja dalam mencari ikan, hasil penangkapan warga umum harus dibagi
dengan ahli waris pendiri tabat basar ini, dengan sistem bagi dua dan
untuk ahli waris tersebut kemudian dibagi lagi untuk keluarga
keturunannya.
Kalau dulu pendiri tabat basar sekitar 30 orang kemudian karena beranak
pinak maka sekarang ahli waris menjadi 70 orang, kata Mursidi.
Kendati hasil penangkapan dibagi dua tetapi masyarakat umum tetap
bersemangat menangkap ikan di lokasi itu, karena hasilnya masih
melimpah ruah.
Tetapi seiring perjalanan waktu, lokai bendungan tabat yang disebut kali
meraup terjadi pendangkalan lantaran sidementasi, disamping diserang
tanaman gulma, seperti ilung dan kayapu hingga sungai menyampit dan
bendungan tertutup oleh gulma dan surut akibat lumpur.
Guna mengembalikan ke kondisi asal, maka proyek rehabilitasi diserahkan
kepada pemerintah, lalu oleh pemerintah sungai dikeruk dan tabat
diperbaiki.
Tetapi apa nyana, maksud untuk lebih baik ternyata kondisinya tambah
patal, dimana bendungan roboh, kondisi sidementasi tidak tambah baik.
Bila dulu masih bisa mengairi persawahan sekarang banyak persawahan yang
kering lantaran tidak bisa diairi oleh irigasi sederhana ini.
Pihak warga sudah beberapa kali mengatasi persoalan ini tetapi
kondisinya tambah parah, cerita mencari ikan rame-rame hanya tinggal
kenangan, oleh karena itu semua pihak berharap baik pemerintah maupun
masyarakat harus berusaha sekuat tenaga mengembalikan tabat basar
tersebut.
sumber:http://hasanzainuddin.wordpress.com/apa-dan-bagaimana-kab-balangan/